Hukum selama ini bergerak cepat dan lebih tajam apabila kasus hukum terkait dengan orang kecil dan mempersoalkan kepentingan orang besar,termasuk pemilik kekuasaan. Namun apabila sebuah kasus yang mengaitkan atau yang diduga tertuduh pelakunya adalah orang-orang besar dan kekuasaan, maka hukum seolah-olah lumpuh dan tumpul. Selain menghendaki adanya kepastian hukum dan keadilan juga penyelesaian hukum harus memiliki nilai kemanfaatan, yang menjadi persoalan dan tantangan saat ini adalah bagaimana mewujudkan proses penegakan hukum yang mampu memenuhi tujuan hukum yakni mencapai kepastian hukum yang berkeadilan dan bermanfaat
Pembaharuan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena memang pada hakikatnya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan atau policy (yaitu bagian dari politik hukum/penegakan hukum, politik hukum pidana, politik kriminal dan politik sosial). Peradilan pidana tidak sekedar dilihat sistem penanggulangan kejahatan, melainkan dilihat sebagai social problem yang sama dengan kejahatan itu sendiri. Pelaksanaan sanksi pidana perlu dihubungkan dengan kebijakan pembangunan manusia yang ingin membentuk manusia Indonesia Seutuhnya. Penggunaan sanksi pidana yang dikenakan kepada pelanggar harus sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang beradab. Di samping itu pidana dimanfaatkan untuk menumbuhkan kesadaran bagi si pelanggar akan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai pergaulan hidup bermasyarakat mengutamakan perdamaian secara musyawarah untuk mencapai mufakat merupakan mekanisme integral dalam kehidupan masyarakat di Indonesia.
Pembaruan hukum di Indonesia, tidak dapat dilepaskan dari kondisi objektif masyarakat Indonesia yang menjunjung nilai-nilai hukum agama disamping hukum tradisional sehingga perlu digali produk hukum yang bersumber dan berakar pada nilai-nilai budaya, moral dan keagamaan. Penyelesaian tindak pidana biasa bermotif ringan dapat ditempuh dengan mediasi penal disebut pendekatan restorative justice, yaitu menitik beratkan pada adanya partisipasi langsung pelaku, korban dan masyarakat dengan memaknai tindak pidana. Keadilan restoratif juga merupakan suatu kerangka berfikir yang baru yang dapat digunakan dalam merespon suatu tindak pidana bagi penegak dan pekerja hukum di Indonesia.
Singapura memiliki salah satu tingkat kejahatan terendah di dunia, yang disebabkan oleh hukuman berat yang dikeluarkan bahkan untuk kejahatan kecil. Pemerintah dan polisi secara ketat mengontrol senjata api dan senjata api lainnya, sehingga kejahatan kekerasan dan konfrontatif jarang terjadi di Singapura
Jonkers dalam bukunya “Het Nederlandsch-Indische Strafstelsel” yang diterbitkan pada tahun 1940 menuliskan pada kalimat pertama mengatakan De Nederlander, die over wijdezeeen en oceanen baan koos naar de koloniale gebieden, nam zijn eigenrecht mee (orang-orang Belanda yang dengan melewati lautan dan samudra luas memiliki jalan untuk menetap di tanah-tanah jajahannya, membawa hukumnya sendiri untuk berlaku baginya.
Sejarah hukum pidana Indonesia secara umum tidak dapat dilepaskan dari keberadaan masyarakat Indonesia, masyarakat Indonesia yang terbagi dalam banyak kerajaan, masyarakat Indonesia di bawah jajahan Belanda dan masyarakat Indonesia setelah masa kemerdekaan. Hukum pidana modern Indonesia dimulai pada masa masuknya bangsa Belanda di Indonesia, adapun hukum yang ada dan berkembang sebelum itu atau setelahnya, yang hidup dimasyarakat tanpa pengakuan pemeritah Belanda dikenal dengan hukum adat. Pada masa penjajahan Belanda pemerintah Belanda berusaha melakukan kodifikasi hukum di Indonesia, dimulai tahun 1830 dan berakhir pada tahun 1840, namun kodifikasi hukum ini tidak termasuk dalam lapangan hukum pidana.
Dalam hukum pidana kemudian diberlakukan interimaire strafbepalingen. Pasal 1 ketentuan ini menentukan hukum pidana yang sudah ada sebelum tahun 1848 tetap berlaku dan mengalami sedikit perubahan dalam sistem hukumnya. Walaupun sudah ada interimaire strafbepalingen, pemerintah Belanda tetap berusaha menciptakan kodifikasi dan unifikasi dalam lapangan hukum pidana, usaha ini akhirnya membuahkan hasil dengan diundangkannya koninklijk besluitn 10 Februari 1866. wetboek van strafrech voor nederlansch indie (wetboek voor de europeanen) dikonkordinasikan dengan Code Penal Perancis yang sedang berlaku di Belanda. Inilah yang kemudian menjadi Wetboek van Strafrecht atau dapat disebut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku sampai saat ini dengan perubahan-perubahan yang dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia.
James Dignan dalam karyanya Understanding Victims and Restorative Justice (2005) mengungkapkan istilah keadilan restoratif berawal ketika Albert Eglash (1977) berupaya membedakan tiga bentuk peradilan pidana, yakni retributive justice, distributive justice, dan restorative justice. Menurut Eglash, sasaran keadilan retributif adalah penghukuman terhadap pelaku atas kejahatan yang dilakukan. Adapun sasaran keadilan distributif adalah rehabilitasi para pelaku kejahatan. Sementara itu, keadilan restoratif merupakan prinsip restitusi dengan melibatkan korban dan pelaku dalam proses yang bertujuan mengamankan reparasi bagi korban dan rehabilitasi pelaku.
Kerangka historis keadilan restoratif dilatarbelakangi ketidakpuasan atas implementasi sistem peradilan pidana pada pertengahan tahun 1970 yang bersifat retributive karena dianggap kurang memberi manfaat terhadap korban, pelaku, dan masyarakat. Beberapa kelompok aktivis sistem peradilan pidana yang tersebar di Amerika Utara dan Eropa kemudian berupaya mengadakan gerakan reformasi sistem pemidanaan secara terorganisasi. Hingga tahun 1974, terinisiasi Victim-Offender Reconciliation Program (VORP) di Ontario, Kanada, yang diindikasi sebagai gerakan awal konsep keadilan restoratif. Program yang semula ditujukan kepada pelaku tindak pidana Anak dalam bentuk ganti kerugian kepada korban ternyata memperoleh tingkat kepuasan yang cukup tinggi dari korban, pelaku, maupun masyarakat. Prestasi ini mendorong lahirnya program serupa di kawasan Eropa dan Amerika Utara.
Seiring berjalannya waktu, derivasi dari konsep keadilan restoratif berkembang menjadi beberapa jenis pendekatan. Dalam buku Prinsip-Prinsip Hukum Pidana (2014) karya Eddy O.S. Hiariej setidaknya tercatat lima pola implementasi sistem peradilan pidana yang diklaim berpedoman pada keadilan restoratif. Pendekatan pertama, court-based restitutive and reparative measures. Konsep ini diusung para pendukung “civilization thesis” di Inggris melalui tuntutan ganti kerugian oleh pelaku sebagai bentuk reparasi terhadap korban.
Pendekatan kedua, victim-offender mediation programmes. Pendekatan yang dipengaruhi Gerakan Christian Mennonite (Christian Mennonite Movement) menitikberatkan nilai rekonsiliasi antara korban dan pelaku.
Pendekatan ketiga, restorative conferencing initiatives. Pendekatan yang menekankan konferensi sebagai sarana penyelesaian pidana yang terdiri dari dua model, yakni family group conference dan police-led community conferencing.
Pendekatan keempat, community reparation boards and citizens panel. Pendekatan ini menggunakan mekanisme panel antara warga dan dewan masyarakat dalam penyelesaian tindak pidana sebagaimana konsep children hearing system di Skotlandia.
Pendekatan kelima, healing and sentencing circles. Pendekatan yang popular bagi warga asli Kanada ini mengikutsertakan para pihak yang umumnya terlibat dalam pengadilan tradisional ke dalam ruang persidangan konvensional.
Priyadi yang merupakan mantan Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sulawesi Selatan mengungkapkan kedua nilai dasar dari konsep keadilan restoratif bukanlah barang langka dalam dinamika sistem pemidanaan di Indonesia.
Dalam kegiatan yang diselenggarakan Forum Restorative Justice Kota Makassar 27 Agustus 2019, Priyadi mengawali sambutannya dengan menguraikan relasi antara keadilan restoratif dengan Pemasyarakatan. Menurut beliau, konsep Pemasyarakatan sebagai metodologi di bidang Treatment of Offenders telah selaras dengan sasaran dari konsep keadilan restoratif. Dari perspektif pemulihan dapat dikaitkan dengan beberapa prinsip-prinsip Pemasyarakatan, seperti memberikan pengayoman kepada narapidana sebagai bekal hidup menjadi warga yang baik dan berguna serta penafsiran tobat yang tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, tapi melalui pembimbingan.
Sedangkan dari perspektif keterlibatan, merujuk pada pemaknaan Sistem Pemasyarakatan sebagai wujud integrasi antara tiga unsur, yaitu narapidana, petugas, dan masyarakat. Oleh karena itu, ketika Sahardjo telah menginisiasi Pemasyarakatan sejak tahun 1963 hingga diresmikan pada Konferensi Lembang tahun 1964, keadilan restoratif sebenarnya telah eksis di Indonesia. Maka, dapat dikatakan keadilan restoratif adalah barang lama dengan kemasan yang berbeda.
Ketua Prodi Hukum Universitas Bina Nusantara (Binus), Ahmad Sofian, berpandangan, dasar hukum restorative justice yang dilakukan oleh kepolisian maupun kejaksaan masih terbilang abu-abu. Sebab sampai dengan saat ini dasar hokum yang pasti tentang restorative justice belum ada undang-undangnya.
“Ini menarik karena dasar hukum dalam bentuk undang-undang itu kan tidak ada, tetapi sudah dipraktikkan berdasarkan peraturan yang dibuat oleh masing-masing penegak hukum itu,” katanya. Untuk tingkat penyidikan, restorative justice diatur melalui Peraturan Kepolian Negara Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Sedangkan di Kejaksaan, berdasarkan Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Meski belum ada undang-undang yang secara tegas mengatur restorative justice di luar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, kedua lembaga penegak hukum itu sudah banyak menerapkan restorative justice atau keadilan restoratif.
Dengan mulai bermunculan rumah dan kampung restorative justice semoga kedepan penegakan hokum di Indonesia memenuhi azas kemanfaatan dan memberikan keadilan.
Dirangkum dari berbagai sumber
Oleh : Anjar Supriyanto, S.H.