Psikotes Untuk Masuk Sekolah Dasar,  Menengah Dan Dampaknya Terhadap Anak

waktu baca 5 menit
Minggu, 26 Jun 2022 18:43 0 32 Redaksi

Ditulis oleh : Anjar Supriyanto, S.H.

Your Ads here

Suarasantri.id Saat ini kita melihat rona kegembiraan pada raut muka anak dikala mereka mulai beranjak mengenyam pendidikan baik usia dini (TK), sekolah dasar (SD, SMP) dan Menengah. Bagi orang tua juga berseri-seri raut mukanya ketika sang anak berhasil masuk sekolah di lembaga sekolah yang diidamkan. Tugas anak adalah belajar dan tugas orang tua membiayai pendidikan sang anak, dalam tataran kehidupan bermasyarakat, bernegara tertunya ada siklus yang tak terpisahkan diantaranya mata rantai pemerintah menarik berbagai macam jenis pajak dan pungutan bukan pajak.

Sebagaimana cita cita bangsa Indonesia yang tertuang dalam naskah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 :

  1. Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan****)
  2. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.****)
  3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.****)
  4. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.****)
  5. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.****)

Dengan dasar hukum tertinggi diatas, maka Sekolah adalah tempat dimana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan sebagai obyek untuk mempertahankan kelangsungan hidup bernegara. untuk mewujudkan cita-cita mulia, Pemerintah menganggarkan 20% dari APBN dan APBD, sungguh luar biasa anggaran yang diserap untuk biaya pendidikan putra putri tunas bangsa.

Namun demikian anggaran biaya yang dianggarkan Pemerintah seolah tak dirasakan bagi rakyat Indonesia. Berbagai macam cara dilakukan agar biaya pada PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) menjadi ada atau juga lembaga pendidikan melakukan upaya monopoli yang bertujuan untuk mencari keuntungan sehingga niatan mencari keuntungan menciptakan ide kreasi baru untuk menghindari aturan yang telah dibuat oleh pemerintah. Bahwa Lembaga pendidikan dan komite sekolah dilarang melakukan aktifitas jual beli di lingkungan sekolah sebagaimana jelas di tuangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolahan dan Penyelenggaraan Pendidikan, terutama pasal 181a. Sudah secara jelas tertulis mengenai larangan itu.

Yakni, pendidik dan tenaga kependidikan, baik persorangan maupun kolektif, dilarang menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, seragam sekolah, atau bahan pakaian seragam di satuan pendidikan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 12a, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 75 Tahun 2016 Tentang Komite Sekolah. Di pasal itu tertulis, Komite Sekolah, baik perseorangan maupun kolektif dilarang menjual buku pelajaran, bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di sekolah.Tak berhenti pada guru, karyawan dan komite sekolah. Larangan ini pula juga berlaku bagi koperasi yang ada di lingkungan sekolah tersebut.

Bagaimana dengan Spikotes yang dilakukan dilingkungan sekolah pada awal penerimaan siswa didik baru ?

Salah satu tujuan psikotest adalah untuk mengetahui berbagai potensi yang dimiliki oleh setiap individu yang tidak terobservasi secara langsung (Wikipedia). Psikotest dapat dilakukan pada berbagai tingkat usia, baik pada orang dewasa maupun anak-anak. Dengan diketahuinya potensi-potensi yang tersembunyi ini, diharapkan kepribadian atau kemampuan seseorang dapat disesuaikan dengan potensi-potensi yang dimiliki. Jika ada sifat-sifat atau hal-hal kurang baik yang bisa ditimbulkan, bisa dilakukan antisipasi sebelumnya, dengan demikian dapat dilakukan langkah-langkah pencegahan atau perbaikan yang diperlukan.

Pada perkembangannya, psikotest dilakukan untuk tujuan yang bermacam-macam, yang paling umum dilakukan di Indonesia adalah untuk seleski tenaga kerja, penentuan minat studi (khususnya untuk anak-anak Sekolah Menengah Atas, baik umum maupun kejuruan), bahkan sudah diterapkan untuk seleksi masuk sekolah dasar. Hal ini sah-sah saja dilakukan, karena setiap orang atau lembaga-lembaga baik pemerintahan maupun swasta memiliki kebijakan masing-masing.

Pertanyaannya, apakah cara seperti ini merupakan cara yang paling benar atau setidaknya efektif untuk mencapai tujuan-tujuan perusahaan atau lembaga atau sekolah? Hal ini tentu saja merupakan sesuatu yang masih bisa diperdebatkan. Mengapa hal ini masih merupakan sesuatu yang diperdebatkan? Karena kalau psikotest ini merupakan cara yang terbaik, tentu saja seluruh perusahaan atau lembaga di seluruh dunia, atau sebagian besar negara di dunia atau setidak-tidaknya di negara-negara maju yang menjadi acuan kemajuan dunia saat ini, pasti selalu menggunakan psikotest untuk berbagai kegiatan yang sudah disebutkan di atas.

Yang akhir-akhir ini marak terjadi di Indonesia adalah penerapan psikotest sebagai syarat masuk sekolah Hal ini menurut hemat penulis merupakan sesuatu yang sudah salah kaprah.

Banyak alasan yang diajukan mengapa mereka berfikir perlu untuk dilakukan psikotest semacam ini, salah satunya adalah karena kapasitas sekolah sudah tidak memadai. Kesiapan anak-anak untuk mengikuti program pendidikan, dan lain-lain. Hal ini justru sangat berlawanan dengan tujuan pendidikan itu sendiri. Kita berbicara dalam tatanan anak-anak usia dini, yang masih dalam masa-masa pertumbuhan dan perkembangan, baik secara fisik maupun mental. Bagaimana mereka tahu kalau anak-anak ini belum siap untuk mengikuti program-program sekolah hanya dengan satu test? Apakah mereka juga sudah mempertimbangkan psikologi si anak pada saat mengikuti test?

Anak-anak sama juga dengan orang dewasa yang memiliki perasaan “nervous” kalau dihadapkan dengan test atau ujian. Belum lagi kalau kita berbicara tentang bagaimana pola pendidikan anak di rumah yang berpengaruh sangat besar terhadap kepribadian seorang anak. Misalkan saja, apakah anak-anak kita sudah dibiasakan hidup mandiri sejak dini? Dari cara makan misalnya. Apakah orang tua di rumah sudah melatih anak makan sendiri sejak usia belum lagi genap satu tahun? Atau mendidik anak untuk tidur sendiri? Dan masih banyak lagi lainnya.

Jika keadaannya demikian, bagaimana mereka berhak mengklaim bahwa sekolah mereka adalah sekolah yang terbaik, kalau mereka pada prakteknya dengan berbagai dalih berusaha lari dari tanggung jawab pendidikan itu sendiri. Tidak sepatutnya anak-anak usia sekolah dasar sudah dituntut untuk bisa ini dan itu.

“Sebuah lembaga pendidikan yang baik adalah lembaga pendidikan yang mampu menjadikan anak apapun potensi yang dimiliki seorang anak menjadi sesuatu yang besar”

Spikotes juga memerlukan biaya yang harus dibayar oleh orang tua wali murid hal ini juga akan membebeni biaya tambahan selain kecukupan seragam, alat tulis dan pengayaan agar anak terdidik dengan baik.

Jadi dengan demikian apakah urgensi Spikotes yang dilakukan oleh penyelenggara pendidikan jika tujuan dari sekolah adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengajari, mendidik anak untuk menyerap dasar-dasar keilmuan sebagai bekal dimasa yang akan datang?

Apakah orang miskin dilarang mengenyam pendidikan bilamana berbagaimacam istilah pungutan disematkan pada label Merdeka Sekolah dan Merdeka Belajar?

Redaksi

Suara Santri

LAINNYA